100 Tahun sudah berlalu, Sebuah Catatan Sejarah tentang hari kebangkitan nasional. Dimana pada Tanggal 20 Mei 1908 yang didiri kan oleh Budi Utomo, Adanya sebuah perhimpunan yang mengawali tumbuhnya rasa nasionalisme.
Berdirinya Budi Utomo, ternyata langsung mendapat sambutan oleh sejumlah mahasiswa dan orang-orang pribumi lain. Dukungan mengalir dari beberapa sekolah pribumi seperti Sekolah Pertanian (landbouwschool) di Buitenzorg (sekarang Bogor), Sekolah Dokter Hewan (Veeartsenijschool) di tempat yang sama, menyusul Sekolah Kepala Negeri (Hoofdenschool) di Magelang dan Probolinggo, Sekolah Malam untuk Penduduk (Burgeravonschool) di Surabaya, Sekolah Pendidikan Guru Bumiputra di Bandung, Yogyakarta dan Probolinggo.
Ada satu energi besar yang bisa menyatukan semua orang-orang pribumi ini. Mungkin karena perasaan senasib dan keinginan untuk memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda). Serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Sementara para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan yang dalam bahasa kini dinilai bermental korup.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sejarah berdirinya Budi Utomo kemudian tetap dikenang sebagai tonggak kebangkitan nasional. Dan tanggal 20 Mei sebagai hari berdirinya Budi Utomo dijadikan sebagai tanggal Peringatan kebangkitan nasional hingga ini hari.
Mengenal Sejarah Latar Belakang Budi Utomo
Budi Utomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan beberapa mahasiswa dan tokoh pemuda pribumi di STOVIA di Jakarta. Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa banyak perkumpulan pribumi yang hanya mementingkan golongan sendiri dan tertutup. Sementara Pemerintah Hindia Belanda jelas tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib kaum pribumi. Bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan.
Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Dr Wahidin dan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif, tetapi terbuka untuk siapa saja, tanpa melihat kedudukan, kekayaan atau pendidikannya.
Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, Manado, Borneo dan Ambon. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya.
Dengan demikian, pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja. Karena menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.
Sekalipun para pemuda itu merasa tidak tahu banyak tentang nasib, keadaan, sejarah dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, mereka tahu bahwa saat itu orang Manado mendapat gaji lebih banyak dan diperlakukan lebih baik daripada orang Jawa. Padahal dari sisi pendidikan, keduanya berjenjang sama. Itulah sebabnya pemuda Soetomo dan kawan-kawan tidak mengajak pemuda-pemuda di luar Jawa untuk bekerja sama.
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat pro perjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa.
Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya, "tanah air" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.
Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah antara lain oleh Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda.
Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij, karena dalam arena politik, Budi Utomo memang belum bisa berbuat banyak.
Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut, yaitu etika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi. Ini mengobarkan amarah rakyat pribumi (bangsa jajahan).
Read More......